Kasus pemerkosaan seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang terjadi lebih dari setahun lalu mencuat di ruang publik berkat liputan investigasi yang diterbitkan oleh Balairung Press, (selanjutnya sebut saja Balairung)

Liputan tersebut diunggah di laman daring pada tanggal 5 November 2018. Liputan ala pers mahasiswa ini mengundang perhatian berbagai pihak dan memantik perbincangan. Laporan jurnalisme itu dipublikasikan dengan judul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan.

Pada judul ini sangat terasa kritik mahasiswa, direpresentasikan para aktivis Balairung, atas sikap kampus yang dianggap kurang serius dalam menanggapi kasus pelecahan seksual yang mengendap lebih dari setahun lamanya.

Liputan ini memancing banyak perbincangan dan aksi bergulir di dunia maya maupun di dunia nyata. Salah satunya yang ramai dibicarakan adalah kaidah penulisan liputan tersebut yang dikritik banyak warganet seolah seperti cerita esek-esek.

Kritik datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya yang di Twitter mengunggah penilaian, “Jurnalis yg nulis koplak pisan. Detail sekali gambarkan modus pelecehan seksualnya. Korban seperti diperkosa dua kali.” ketika naskah ini saya tulis AJI Surabaya sudah melakukan klarifikasi mengenai komentar tersebut.

Inti klarifikasi, AJI Surabaya mengaku adanya kesalahan pada komentar ketika menggunakan kata “koplak” yang ditujukan pada redaksi Balairung dan beberapa masukan terhadap penulisan berita yang telah diterbitkan Balairung itu.

Tanggapan dari AJI Surabaya ini dipublikasikan pada Jumat (9/11).  Sebelumnya juga sudah ada tanggapan dari pihak redaksi Balairung yang memaparkan dasar penulisan mereka dengan rujukan berbagai artikel tentang kekerasan seksual di luar negeri.

Pemberitaan kejahatan seksual di dalam negeri kita belum bisa menjadi rujukan karena ujung-ujungnya juga akan mentok pada beragam perspektif bahwa hal demikian tabu adanya. Balairung menanggapi hal-hal yang dipermaslahkan banyak pihak dalam pemberitaan mereka dengan menuliskan editorial pada Rabu (7/11).

Awak Balairung mengutip pendapat dari Windy J. Murphy seorang profesor hukum di New England Law dan juga seorang mantan jaksa di Middlesex Country, Massachusetts. Menurut Murphy, Istilah-istilah seperti “aktivitas seksual”, “kekerasan seksual”, serta “pencabulan” adalah istilah rancu dan tidak memberitahukan mengenai kejadian yang sebenarnya.

Hal itu membuat publik tidak bisa memahami apa yang terjadi, atau tidak tahu bagaimana harus menanggapi kejahatan yang sudah dilakukan dan apakah reaksi orang tua yang bertanggung jawab, aparat hukum, dan lain-lain sudah tepat.Kutipan ini diperkuat oleh artikel Evi Mariani, Managing Editor The Jakarta Post, di website remotivi.or.id dengan judul Seberapa Rinci Wartawan Bisa Menulis Berita Pemerkosaan?

Evi menyatakan ada satu kata dari Murphy yang patut dijadikan kata kunci dalam diskusi ini: kejahatan. Dalam mendeskripsikan suatu kejahatan seksual memang mau tidak mau ada penyebutan organ tubuh yang biasanya merupakan organ reproduksi seksual: penis, payudara, vagina.

Kata-kata ini tabu bagi banyak orang Indonesia. Biasa hanya ditemui di buku stensilan, sehingga mungkin banyak yang kaget membaca nama organ-organ itu di sebuah laporan media. Bagaimanpun penilaian akan suatu berita yang ditulis oleh wartawan adalah hak para pembacanya.

Relasi Kuasa

Bila melihat pemberitaan dari Balairung ini sebenarnya sudah sesuai dengan koridor jurnalisme advokasi. Menurut Evi, liputan media yang adil atas kekerasan seksual adalah liputan yang membela korban karena suatu kekerasan seksual biasanya terjadi dari relasi kuasa yang timpang.

Pelaku lebih berkuasa dari korban. Jika media tidak condong ke korban, maka ujung timbangan akan malah membantu pelaku untuk semakin berkuasa. Dari liputan Balairung kita belajar bahwa jurnalisme advokasi masih sangat relevan digunakan.

Dalam kasus-kasus pelecehan seksual masyarakat kita cenderung “membela” pelaku dan “menyalahkan” korban. Dalam liputan Balairung, seorang pejabat Departemen Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM yang tidak mau disebut identitasnya berkata, “Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa Jawa) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,”

Menurut saya, tidak usah diperdebatkan lebih panjang tentang penulisan pemberitaan Balairung Press ini. Secara garis besar mereka sudah melakukan kerja jurnalisme secara baik. Jurnalisme yang mereka terapkan, dalam pemaknaan saya, penuh kedisiplinan dan standar tinggi.

Teknik pengumpulan data, penggunaan inisial pada korban atau penyintas (Agni) dan pelaku (HS), peringatan pada awal konten atau awal berita, persetujuan pemuatan dari korban karena menyangkut hal sensitif, penentuan narasumber, serta keabsahan data yang mereka kumpulkan hampir setahun adalah kerja jurnalisme yang luar biasa.

Seperti tagline Balairung Press Napas Intelektualitas Mahasiswa, pemberitaan mereka kali ini benar-benar membuat kita (mahasiswa, wartawan dan masyarakat pada umumnya) berpikir kembali tentang kualitas pemberitaan media atas kasus-kasus kekerasan seksual.

Lebih penting lagi adalah liputan ini mampu menggerakkan kepedulian kita kepada korban kekerasan seksual. Kawal terus kasus ini! Kami (para mahasiswa) bersama Agni!

M. Izzat Abidi (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Surakarta)

Artikel ini pernah dimuat di Subrubrik Mimbar Mahasiswa Harian Umum Solopos Selasa Pahing, 13 November 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *