Selasa (28/11) hujan turun seharian di kawasan Solo dan sekitarnya. Salah seorang kawan saya nyeletuk, “Kari nunggu kabar sing banjir endi iki.” Ia berkata begitu sembari menarik selimutnya, kembali tidur.

Saya masih terjaga pagi itu karena memang mendapat jatah piket menjaga kantor pondok. Sembari berjaga, saya mengecek di media sosial, siapa tahu ada kabar banjir seperti yang dikatakan kawan saya tadi.

Menjelang waktu ashar, hujan belum juga reda dan mulailah grup-grup WhatsApp menampilkan foto banjir di berbagai tempat. Salah seorang kawan di sebuah grup mengunggah foto banjir yang katanya terjadi di Jl. Slamet Riyadi, Solo depan Hotel Dana.

Saya tidak langsung percaya. Selang beberapa lama, seorang kawan yang lain mengunggah video dan foto dengan lokasi yang sama dan hanya hujan, tidak terjadi banjir di sana. Dengan tegas ia menyatakan, Iki loh asline!

Aplikasi perpesanan instan yang cepat dan mudah kadang-kadang membuat orang mengabaikan validitas dan verifikasi dari suatu informasi yang diterima. Mereka menganggap sebagai hal yang lumrah. Ini sangat berbahaya.

Sadar atau tidak, tanpa memverifikasi dan tanpa meragukan validitas, seseorang bisa menjadi oknum penyebar hoaks hanya karena ingin secepat mungkin mengabarkan peristiwa di suatu tempat.

Perkembangan teknologi yang demikian ini memang tidak bisa kita hindari. Ada dampak baik dan buruk. Kita harus bijak dalam bermedia sosial. Pada era keterbukaan informasi saat ini, melek media atau literasi media menjadi sangat penting bagi diri kita dan lingkungan di sekitar kita.

Banyak cara agar kita dapat melek media. Hal yang lumrah tentu dengan membaca buku-buku tentang literasi media yang bisa kita jumpai di perpustakaan, tentu bila kita tidak malas mencarinya. Di toko buku kita bisa membeli buku tentang literasi media. Jangan lupa, dibaca!

Saya rasa banyak orang zaman sekarang malas melakukan cara seperti itu. Alternatif lainnya adalah mengikuti kuliah tentang media. Haruskah kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi atau Komunikasi Penyiaran Islam? Tidak. Tidak harus. Banyak kantor media massa membuka kelas mengenai media, biasanya berhubungan dengan jurnalisme.

Ini penting supaya sebagai orang yang bermedia sosial kita dapat bijaksana saat mengunggah atau membagi konten. Kita juga dapat mengikuti seminar-seminar yang diadakan perguruan tinggi.

Beberapa waktu lalu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyelenggarakan Festival Media AJI 2017 di Kota Solo sebagai rangkaian acara Kongres X AJI. Festival dan acara pendukung yang diadakan pada tanggal 21-24 November di Universitas Sebelas Maret, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Grha Solo Raya ini sungguh memberikan wawasan melek media.

Acara ini tidak hanya bagi para wartawan anggota AJI tapi juga terbuka untuk masyarakat umum. Faktor lain yang menarik dari acara festival ini, mengutip status di Instagram @nurulfauuziah, kawan sekampus, yang dibagikan ulang oleh @aji.solokota.

Kawan saya itu menulis “… Festival ini juga terbuka untuk umum dan gratis. Tentunya ini sangat dicari-cari oleh mahasiswa perantau dan juga ngekos…” Aduh. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Slogan Jurnalisme Damai, Jurnalisme Keberagaman  dalam festival ini tercermin dalam setiap diskusi dan workshop yang diadakan. Salah satu workshop yang saya ikuti mengenai hoaks dan ancaman terhadap keberagaman serta cara mengecek fakta dan verifikasi dengan pembicara Arif Mujahidin dari Danone Indonesia serta Public Policy Lead and Country FRO Head of Twitter Indonesia Agung Yudha.

Menjaga Kewarasan

Arif memberikan gambaran kepada peserta workshop tentang sebuah perusahaan menangkal hoaks yang ditujukan ke perusahaan itu dengan tidakan yang efektif dan efisien. Caranya dengan sosialisasi tentang proses pembuatan suatu produk, menerima kunjungan ke pabrik untuk melihat secara langsung proses pembuatan produk, memanfaatkan media sosial sebagai garda terdepan informasi, dan sesegera mungkin mengklarifikasi hoaks yang beredar.

Agung memberi kiat untuk mengecek informasi itu hoaks atau tidak dengan  memanfaatkan platform Google News. Bila dicari dengan platform tersebut ternyata berita terkait suatu informasi tidak muncul, bisa jadi itu merupakan informasi hoaks.

Ia juga menerangkan beberapa kiat mencegah hoaks di media sosial, khususnya Twitter, dengan memanfaatkan sebaik mungkin pengaturan yang ada di dalamnya. Selain workshop, ada pula pameran dari setiap perwakilan AJI dari puluhan kota di Indonesia.

Mereka memamerkan beberapa karya mereka yang dibawa dari daerah masing-masing. Tak melulu tentang karya jurnalistik, bahkan kopi dari berbagai daerah pun ikut diperkenalkan. Sungguh festival media kali ini juga menjadi ajang para wartawan lebih dekat dengan para audiens mereka.

Selain itu, beberapa stan pameran juga mengadakan berbagai tantangan dan kuis berhadiah yang membuat pengunjung mendapatkan media untuk belajar melek informasi dan melek media.

Semoga festival media ini tak hanya seperti angin berlalu. Terasa sejuk seketika, setelah itu hilang tak berbekas. Bukan pula cuma ajang pamer diri. Kalau ditanya kamu di sana dapat apa malah cuma menunjukkan swafoto dan hadiah menang kuis di beberapa stan.

Pengunjung festival tak hanya ikut senang-senang dan lupa untuk menerapkan apa saja yang telah didapatkan selama datang di arena festival. Mari berbagi kebajikan dan bermedia sosial dengan bijaksana. Festival media adalah ikhtiar terpuji untuk menjaga kewarasan masyarakat yang kian dikuasai media sosial.

Izzat Abidi, Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Surakarta

Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Subrubrik Mimbar Mahasiswa Solopos, Selasa Wage, 5 Desember 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *