Aktivis jamak menyalurkan aspirasi lalu turun ke jalan. Aksi semacam ini kadang-kadang kurang efektif. Seberapa sering suara mahasiswa didengar? Apakah isu yang mereka angkat menjadi agenda publik? Isu hak asasi manusia, isu lingkungan hidup, isu gender, isu agama, sampai isu ideologi.
Tidakkah yang dibicarkan publik justru kebanyakan topik entertainment? Apakah aksi turun ke jalan tidak bisa mengangkat isu penting? Bagaimana aksi Gejayan Memanggil dan serentetan aksi Reformasi Dikorupsi? Tentu saja bisa, namun harus dengan momentum yang pas dan massa yang banyak sampai media mainstream mau meliput aksi tersebut.
Saya tidak menyalahkan aksi turun ke jalan, namun kita harus sadari bersama bahwa aksi di jalan rasa-rasanya ada yang kurang jika memang bertujuan memengaruhi agenda publik dan mengangkat isu penting ke permukaan. Saya menawarkan alternatif lain, yaitu memanfaatkan media digital.
Sejak meledaknya peng guna Internet di Indonesia, platform media digital kian digandrungi. Digitalisasi masuk di hampir semua bidang. Dunia kini sedang mengalami revolusi digital. Perilaku mencari informasi beralih, khususnya kaum milenial.
Dulu orang-orang membaca koran untuk mendapat berita terbaru. Kini kaum milenial cenderung membaca media digital. Mereka mendapat notifikasi di smartphone.
Ada dua konsekuensi dari revolusi digital dalam bidang media. Pertama, konsentrasi kepemilikan dan konglomerasi media oleh oligarki. Kedua, lahir media kontra-oligarki akibat rakyat yang memiliki akses terhadap Internet.
Kedua konsekuensi ini seakan-akan berlawanan, namun memang realitasnya berjalan beriringan. Tinggal menunggu siapa yang lebih dahulu memenangi persaingan. Apakah oligarki dan para bos media atau mereka yang menginginkan demokratisasi media.
Demokratisasi (media) terlihat utopis di samping memang realitas oligarki dan konsentrasi kepemilikan media di Indonesia semakin nyata. Akibat dari konglomerasi media ini adalah arus informasi hanya dikuasai oleh para bos media. Sangat mungkin bagi mereka memainkan isu.
Poin pentingnya adalah media cukup kuat untuk memengaruhi agenda publik, cukup efektif untuk mepromosikan wacana, dan bagi aktivis tentu efektif untuk menyerukan pendapat. Media memiliki daya yang cukup untuk memengaruhi agenda dan isu sentral publik.
Kita lihat dengan jelas tren para pemilik media ikut andil dalam politik praktis di Indonesia. Mereka memanfaatkan media untuk kepentingan kekuasaan. Untuk melawan media arus utama yang hanya dimainkan para pemilik media diperlukan media alternatif di platform digital.
Mungkin ada yang berpikir mustahil. Menjadi mustahil kalau jumlahnya sedikit. Bayangkan kalau setiap kampus di seluruh Indonesai memiliki media digital sendiri. Untuk melawan oligarki media dan menjadi mitra kritis pemerintah tentu lebih efektif, apalagi kalau isunya dikoordinasi. Pasti akan lebih mudah dan berdaya.
Selain itu, media digital yang lahir di kampus diharapkan mampu menjadi penyedia informasi alternatif. Kenapa harus kampus? Ruang publik yang masih relevan dan dianggap ideal untuk mengkritik hanya kampus.
Kasus tentang pelecehan seksual di Universitas Gadjah Mada yang diangkat oleh media digital balairungpress.com cukup menghebohkan. Di situ diceritakan secara detail. Selang beberapa hari, tulisan tersebut menjadi viral.
Berita diamplifikasi oleh media-media nasional. Portal berita tirto.id sempat membuat rubrik khusus mengenai pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus-kampus ternama. Lihatlah bagaimana isu itu terangkat.
Dari berita intenal, media kampus balairungpress.com, mampu mengangkat isu yang memang seharusnya diketahui publik, lalu diamplifikasi media mainstream dan akhirnya menjadi perbincangan publik.
Contoh ini sudah cukup bagi saya utuk mengatakan bahwa media digital yang dikelola oleh mahasiswa di kampus bisa saja menjadi media altenatif yang digunakan untuk melawan konsentrasi isu di media arus utama yang dikuasai oligarki.
Esai ini ditulis oleh Dhima Wahyu Sejati (Mahasiswa KPI IAIN Surakarta). Tayang di rubrik Mimbar Mahasiswa Solopos edisi Selasa Kliwon, 10 Maret 2020