“Mudik semuanya akan kita larang” Pesan Presiden Joko Widodo disampaikan dengan terpaksa dan terlihat raut menahan kesedihan. Tetapi, disampaikan penuh pertimbangan akan nilai kearifan dan kebijaksanaan.
Memang, Ramadan 1441 Hijriah akan dan seterusnya terasa berbeda. Di tahun sebelumnya kumandang tadarus masih terdengar merdu dilantunkan usai salat tarawih. Anak-anak masih bercengkerama sembari memainkan petasan di sore menjelang berbuka. Jalan-jalan dan pasar tumpah takjil terlihat ramai oleh emak-emak dan para gadis. Juga rangkaian saf memakmurkan masjid, surau, musola, hingga langgar desa.
Tetapi, tahun ini perasaan dan kegiatan mengisi Ramadan akan jauh dari sebagaimana sebelumnya. Pandemi covid-19 mengharuskan kita untuk stay at home. Menghindari tradisi Ramadan yang identik dengan kerumunan. Tarawih, buka puasa bersama, tadarus dan ibadah lain dianjurkan dilaksanakan di rumah saja. Untuk apa? Semata-mata sebagai ikhtiar memutus rantai penyebaran covid-19.
Tidak hanya setiap pergantian hari di bulan Ramadan yang akan terasa berbeda. Lebaran Idul Fitri berserta tradisinya tidak akan terlalui sama. Mudik sebagai salah satu tradisi menyongsong lebaran dilarang sepenuhnya. Mobilisasi sosial skala besar sebagai ciri khas mudik dikhawatirkan mempercepat penyebaran covid-19. Hal tersebut beralasan bahwa kota dengan status zona merah menjadi wilayah terbesar pemudik, seperti Jabodetabek dan Surabaya. Apabila tradisi ini tetap dilaksanakan, sekiranya ledakan kasus covid-19 akan melanda daerah pedesaan. Minimnya fasilitas kesehatan di pedesaan akan membawa mimpi buruk tingginya kasus kematian dan carut marut perekonomian.
Menyikapi begitu kompleksnya dampak Pandemi Covid-19 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghimbau kepada umat muslim untuk beribadah di rumah dan mengurungkan niatan mudik. Himbauan tersebut disampaikan dengan mempertimbangkan elemen human relations berupa high moral standart demi kemaslahatan bersama. High moral standart diimplementasikan melalui himbauan-himbauan dengan pendekatan kasih dan kelembutan. Sebagaimana amanat Q.S Thaha ayat 43-44 yang berbunyi:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun karena benar-benar dia telah melampaui batas. Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”. Ayat ini jelas memperintahkan kepada manusia untuk mengedepankan komunikasi secara qaulan layina, yakni lemah lembut dan keramahtamahan. Sehingga setiap pesan yang disampaikan akan menyentuh hati dan memberi stimulus untuk segera diaksikan.
Qaulan layina benar dilakukan MUI sebagai langkah pendekatan persuasif-positif untuk mengurangi kemungkinan penyebarluasan covid-19. Sebagai contoh MUI mengeluarkan fatwa terkait penyelenggaraan ibadah salat jum’at dan ibadah ramadhan. Isi fatwa tersebut disampaikan dengan cara yang mendamaikan hati penuh pertimbangan dan kebijaksanaan. Bahkan Ketua MUI Abdullah Jaidi menyampaikan keutamaan tidak mudik di masa pandemi covid-19 melebihi jihad yang mana merupakan pilihan mulia. Pernyataan tersebut tetap beralasan logis. Dengan tidak mudik dan beribadah di rumah saja umat muslim dapat menyelamatkan saudaranya dari resiko penularan covid-19. Semua himbauan dan pernyataan tersebut disampaikan melalui komunikasi yang berakhlak dan beretika.
Sebagai penutup, marilah segenap mahasiswa menjadi garda terdepan penyebaran informasi secara berakhlak dan beretika. Setiap apa yang keluar dari ketikkan jari dan suaramu haruslah hal yang baik dan lembut. Setiap ajakan dan respons atas pandemi ini marilah disampaikan sebagaimana faktanya dan penuh nilai santun. Mari berdoa semoga kita bersama keluarga bisa menyongsong hari kemenangan dengan berseri, bersih layaknya terlahir kembali. Walaupun setiap ibadahnya dilakukan di rumah saja. Amin. (Panji Putra Ariyanto, mahasiswa KPI IAIN Surakarta)